Ephemera – Behind The Scene

Ini adalah catatan proses kreatif novel Ephemera. Untuk melihat blurb dan spesifikasi buku, silakan baca di sini.

When I wrote Ephemera back in 2013, it was all about magic. My main female character, Luna, was a girl with a supernatural power. She had a sister named Venus, who was able to see the unseen. Luna’s lover, Adam, also had a power he couldn’t control. He was the fire. He shouldn’t have touched Luna because she might be burnt. But turned out she could heal immediately from any wound. Therefore they suited each other. They could kiss now. Happy ending.

Bleeeergh…

Maaf, muntah.

Percaya atau tidak, saya pernah memimpikan cerita romansa seperti di atas. Si Luna (versi prototipe) nggak punya masalah apa-apa dalam kehidupannya sebagai remaja. Satu-satunya yang bikin dia pusing adalah tetangganya yang superganteng yang ngebet pengen jadi pacar dia. Mau diterima, ini cowok nyebelin banget, tapi kalau ditolak, nanti Adam bakar rumahnya Luna.

Udah sih gitu aja, nggak punya kekuatan juga nggak apa-apa. Kekuatan mereka cuma pelengkap. Biar keren.

Nggak, nggak. Kisah romansanya cuma pemanis aja. Konflik utamanya adalah Luna yang sakti itu tidak sengaja merusak artifak kuno di dekat rumahnya. Menurut pemeriksaan Adam yang ahli barang antik, ternyata artifak itu berasal dari abad ke-13 masehi. Zaman-zamannya Kerajaan Singasari. Tambah lagi menurut penglihatan Venus, saudaranya Luna, kini Luna dibuntuti roh jahat yang sudah ratusan tahun mengincar artifak tersebut. Peperangan tiga remaja melawan jin berumur ribuan tahun pun dimulai. Wuahahaha. Wadefaklah pokoknya.

Untungnya, kebanyakan naskah absurd seperti ini tidak pernah muncul di permukaan, jadi saya punya banyak kesempatan untuk merombaknya habis-habisan. Saya tidak segan-segan pada naskah yang satu ini. Pada 2017, pertama kali saya posting hasil rombakannya di Storial. Saya baru selesai menulis ulang satu-dua bab pertama dan belum punya bayangan tentang kerangka besar untuk cerita barunya. Menurut pengalaman saya menulis di Storial, plot bisa berubah mengikuti keinginan pembaca, karena dua cerita saya sebelumnya mendapat feedback cukup baik dari warga Storial. Tapi karena Ephemera nggak jalan feedback-nya, saya pindahin ke Wattpad, pura-pura ngambek. “Saya nggak mau nulis di Storial lagi kalau nggak ada yang baca!” gitulah pokoknya. Nggak tahunya di Wattpad lebih sepi lagi hahahaha.

Baru awal 2018, tiba-tiba ada yang baca Ephemera di Wattpad dan dia promosi habis-habisan ke follower-nya. Kalau di-trace jejaknya, dia mulai mengikuti karya saya sejak saya posting cerpen di akun Penerbit Haru. Ternyata ada gunanya ngirim-ngirim cerpen ke media. Semacam tester parfum gratis. Kalian, yang ingin menerbitkan karya di penerbit mayor, mungkin cara ini bisa ditiru. Karena ketimbang disuruh baca novel tebal yang belum tentu menarik, editor pasti lebih senang membaca cerpen 2000-3000 kata yang mengungkapkan banyak hal tentang kepiawaian si penulis.

Dari lonjakan pembaca pada waktu itu saya mulai tertarik melanjutkan omong kosong tentang Luna-Venus-Adam ini. Dan benar saja. Plot besarnya berubah total. Ephemera kini berubah menjadi thriller psikologis. Goodbye roman fantasi!

Tak ada lagi kisah manis cewek remaja yang bingung milih cowok kutubuku yang manis atau pria mapan seksi. Venus (tokoh utamanya sekarang) adalah gadis yang ditimpa seribu kemalangan dalam waktu berdekatan. Sudahlah kecelakaan hingga koma, sedikit amnesia, matanya jadi minus lima, cowok kesukaannya direbut Luna, bahkan rumahnya diserbu anak-anak desa. Luna menyembunyikan sesuatu. Adam, cinta pertamanya, juga menyembunyikan sesuatu. Apalagi Giga, sepupunya yang rada sadis. Entah misteri apa saja yang disembunyikannya.

Venus bagai orang buta yang berada di tengah jerat konspirasi, tak menyadari adanya bahaya di depan hidungnya. Yang perlu dia lakukan adalah keluar dari cangkang penuh kemanjaan dan berdiri di garis terdepan pertempuran melawan pasukan perusak yang dikomandani Adam.

Dum dum durudum dum durudum dum [Game of Thrones’ opening song playing]

Tubuh kita bisa terbentuk dan hancur dengan mudahnya, tapi pikiran kita tidak, Venus. Pikiran kita kekal, selama kita mengutarakannya.

Adam

And now you’re wondering, “Jadi apa hubungan antara judul dengan isinya?”

NOTHING! Hah hahahahaha.

Sebenarnya di versi terbaru Ephemera ini saya ingin membuat si Adam sebagai bookstagrammer yang hobi ngoleksi efemera (like postcards and stamps) untuk foto-foto, biar nyambung sedikit dengan judulnya. Tapi nggak sempet lagi nyisipinnya. Mungkin nanti kalau ada kesempatan untuk nulis spinoff-nya, saya akan menceritakan keseharian Adam sebagai influencer dan feed Instagramnya yang feminin. Juga Luna yang nantinya akan bekerja di India sebagai penyelamat satwa liar.

Jika di Enigma Pasha saya menyukai karakter tokoh-tokoh yang saya buat, di Ephemera ini saya suka plotnya. Venus, Adam, Luna, dan Giga adalah anak-anak yang terbelenggu. Mereka disiksa dengan batas. “Batas” mereka masing-masing berbeda satu dengan yang lainnya. Mereka ingin mendobrak batas itu, apa pun risikonya. Tentu ada yang dikorbankan. Ada harga untuk setiap pencapaian. Ini adalah sebuah cerita yang ingin saya baca. Terus terang, saya menjadi penulis yang egois di buku kedua saya ini.

Buat yang sudah pernah membaca versi Wattpad lalu membaca buku cetaknya dan bertanya, “Lho? Mana adegan berdarah-darahnya?”

Jawabnya adalah “Saya simpan sendiri.”

Setelah Ephemera di Wattpad tamat–dan Mbak Editor nyuruh saya cepet-cepet ngirim naskah ini–saya menggelar rapat terlebih dahulu dengan adik saya. Dia bukan main jahatnya kalau mengkritik. Dia satu-satunya pembaca buku saya yang tidak akan berkata “penulisnya cerdas” (karena dia tahu saya aslinya kayak apa). Dia memberi saya setumpuk pertanyaan tajam tentang adegan-adegan yang saya tulis, dan dari situ saya menyadari adegan kekerasan di klimaks tidak logis. Si G membantai H dan membunuh A hanya karena rahasia kecilnya ketahuan. Padahal rahasianya itu bukan semacam narkoba atau aktivitas sekte terlarang. Arc keempat Ephemera versi Wattpad hanya gimmick untuk menakut-nakuti pembaca. Memang benar si G diceritakan agak psikopat, tapi nggak gitu cara kerjanya psikopat. I knew it.

Pertimbangan mengenai klimaks ini hanyalah sebiji domino yang kelak mengubah 75% isi cerita.

You gone say, “Oh, come on.”

Kalau dibanding Enigma Pasha, jumlah versi naskah Ephemera yang saya tulis jauuuh lebih sedikit. Mungkin karena umurnya lebih muda. Tapi tetap saja, saya mudah berubah-ubah. Hampir setiap kali berhadapan dengan naskah, ada aja adegan terkait plot yang pengin diubah. Ujung-ujungnya rombak total. Itu sebenarnya melelahkan. Tapi ya bagaimana lagi. Menulis fiksi terasa sulit karena otak kita sebenarnya diperintahkan untuk berbohong. Kita bercerita tentang sesuatu yang nggak ada. Dan otak kita bekerja lebih keras saat berbohong/mengarang cerita. Itulah sebabnya setting Ephemera ini saya buat sedekat mungkin dengan lingkungan tempat tinggal saya, supaya nggak sakit kepala mengarang setting yang nggak ada (nggak bakat nulis high fantasy deh pokoknya). Sudah begitu pun masih terasa rempong karena harus menangani empat sudut pandang.

Ya! Di Ephemera ini ada empat sudut pandang. Biasanya, setiap menulis, saya akan “bermain peran” menjadi sang tokoh utama. Saya akan mencoba berpikir dengan sudut pandang dia, bertindak dengan caranya, dan bla bla bla. Ketika di cerita itu ada empat sudut pandang, saya langsung migrain. Tapi kalau cuma ada satu sudut pandang, misteri di Ephemera nggak pernah terpecahkan. Kita hanya akan terjebak di pikiran Venus yang setengah pikun. Klaustrofobik!

Meskipun saya anak rumahan dan pemalu, saya nggak suka cerita yang “sepi” dan “tertutup”. Tokoh-tokoh di cerita saya harus bertemu banyak orang, menjelajah tempat yang luas, punya banyak talenta, dan bisa beraksi seperti Power Rangers (serius, saya suka nonton Power Rangers waktu kanak-kanak). Beraksi nggak harus bunuh-bunuhan. Cukup bermodal layang-layang. Gila aja, Mbak Editor memasukkan Ephemera ke daftar bacaan berjudul “Teenlit” tapi saya nulis cerita bunuh-bunuhan. Menurut saya itu nggak bagus. Kalau saya Lexie Xu sih nggak masalah. Masalahnya saya cuma remah-remah roti gabin.

Ephemera sudah beredar di toko-toko buku terdekat di kotamu sejak 23 Maret 2020. Bisa juga didapatkan secara online lewat gramedia.com untuk mendukung gerakan #dirumahaja. Jaga kesehatan ya, sayangi dirimu (iklan krim pencerah).

Ephemera is a horror story for cats. Don’t let them read it alone.

3 tanggapan untuk “Ephemera – Behind The Scene

  1. OMG–OMG! Gasabar pengen baca! Etapi, pengen baca yang Enigma Pasha dulu deh. Kalau dilihat dari gaya menulismu Kak, kurasa aku akan cocok banget dengan buku ini, wkwk. 😅

Tinggalkan Balasan ke siGit Batalkan balasan